Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Allah ‘azza wa jalla berfirman, “Setiap amal anak Adam adalah untuk dirinya sendiri kecuali puasa. Puasa itu adalah untuk-Ku. Dan Aku lah yang akan membalasnya.” Demi Tuhan yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada semerbak minyak kasturi (HR. Muslim)
Puasa adalah amal yang sangat utama. Karena di dalam puasa tergabung tiga bentuk kesabaran; sabar dalam ketaatan, sabar dalam menjauhi maksiat, dan sabar menghadapi musibah dan hal-hal yang tidak menyenangkan. Oleh sebab itu puasa merupakan wujud nyata dari kesabaran. Sementara pahala orang yang bersabar akan disempurnakan oleh Allah tanpa batasan. Sebagaimana firman-Nya (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang yang sabar itu akan disempurnakan pahalanya tanpa perhitungan.” (az-Zumar : 10). Hal ini berbeda dengan amal-amal lain yang diberikan balasan pahala dari kisaran sepuluh kali lipat hingga tujuh ratus kali lipat. Adapun puasa maka balasannya tidak terbatas pada bilangan ini. Diriwayatkan secara mursal dari Ibnu ‘Umar bahwa puasa karena Allah tidaklah diketahui besar pahalanya kecuali oleh Allah (lihat keterangan Ibnu Rajab rahimahullah dalam Bughyatul Insan fi Wazha’if Ramadhan, hal. 13-14)
Puasa adalah rahasia antara seorang hamba dengan Rabbnya. Tidak ada yang mengetahui dengan sebenarnya hakikat puasa seorang hamba kecuali Allah subhanahu wa ta’ala. Bisa saja seorang insan secara sembunyi-sembunyi makan dan minum sementara tidak ada orang lain yang mengetahuinya. Akan tetapi karena dia yakin bahwasanya Allah melihat dan mengawasinya maka hal itu pun tidak dilakukannya (lihat keterangan Syaikh Abdul Muhsin al-‘Abbad hafizhahullah dalam al-‘Ibrah fi Syahri Shaum sebagaimana tercantum dalam Kutub wa Rasa’il, 6/209)
Pelajaran atau ibrah yang bisa dipetik dari hal ini adalah bahwasanya apabila seorang hamba takut kepada Allah kalau-kalau puasanya rusak/cacat maka semestinya seorang insan juga takut kepada Allah apabila sholat, zakat, dan kewajiban-kewajiban lainnya mengalami kerusakan/cacat. Karena sesungguhnya yang mewajibkan puasa sama dengan yang mewajibkan sholat. Terlebih lagi sholat adalah rukun Islam yang paling agung setelah dua kalimat syahadat. Begitu besarnya keutamaan sholat sehingga Allah pun mewajibkannya kepada Nabi dengan mengangkat beliau ke langit. Apabila seorang muslim merasakan bahwa kerusakan pada puasanya adalah perkara yang sangat besar dan membahayakan maka semestinya dia juga bisa merasakan bahwa rusaknya sholat yang dia lakukan lebih besar dan lebih membahayakan. Inilah salah satu faidah dan pelajaran paling agung yang semestinya dipetik oleh setiap muslim dari bulan puasa (lihat keterangan Syaikh Abdul Muhsin al-‘Abbad hafizhahullah dalam Kutub wa Rasa’il, 6/209-210)
Dari sinilah semestinya datangnya bulan puasa memberikan semangat bagi kita untuk terus menimba ilmu tauhid dan keikhlasan. Sebab bukanlah perkara yang samar bagi kita, bahwasanya tauhid dan keikhlasan itu merupakan kandungan dari dua kalimat syahadat yang menjadi pondasi di dalam agama Islam dan kandungan dari rukun iman yang pertama. Apabila seorang merasakan kerusakan pada sholat dan puasanya sedemikian besar, maka sudah seharusnya dia juga bisa merasakan bahwasanya kerusakan dan cacat di dalam tauhid dan keikhlasannya juga sangat-sangat besar dan membahayakan… Bagaimana tidak?! Sedangkan tauhid inilah kewajiban paling wajib dan perkara yang menjadi tujuan penciptaan dan hikmah diutusnya seluruh nabi dan rasul….
—